INTEGRITY
PROFESSIONALISM
ENTREPRENEURSHIP
Language

Berita Terbaru

Focus Group Discussion PJ-CUS Mengeksplorasi Hal Terbaru tentang "Decoding Private City": Perspektif dari Masyarakat Sipil / Komunitas Perkotaan

26 February 2021

Pembangunan Jaya Center for Urban Studies Menyelenggarakan International Urban Talk Series-4

Pusat Studi Perkotaan Pembangunan Jaya, Universitas Pembangunan Jaya mengundang orang-orang terpilih dari masyarakat sipil / komunitas perkotaan ke FGD online yang menyoroti masalah di kota mandiri/swasta. FGD ini mengangkat 3 topik diskusi dan kemudian membaginya menjadi 3 ruangan virtual dengan metode mind map / gallery walk di setiap breakout room. Menjelang akhir diskusi, setiap kelompok perlu mempresentasikan temuannya di forum besar. FGD ini dihadiri oleh 25 peserta undangan dari pengembang, perencana kota, perencana kota, insinyur transportasi, perencana properti, insinyur sipil, arsitek, komunitas kota mandiri/swasta, akademisi, dan ahli pengetahuan kompeten tentang strategi urbanisasi berkelanjutan terkait kota mandiri/swasta.

Prof. Mueller, penasihat CfSU dari The Dresden University of Technology mengatakan akan mendukung penelitian di kota mandiri/swasta dan membantu Universitas Pembangunan Jaya sebagai mitra.

Sambutan selamat datang juga diberikan dari DAAD dan Kedutaan Besar Jerman di Indonesia. Mereka adalah Stefanie Juergen, Kepala Divisi Sains dan Teknologi, Kedutaan Besar Jerman Jakarta, dan Thomas Zettler, Perwakilan Kantor Wilayah DAAD Jakarta. Pembicara tamu berasal dari berbagai latar belakang di masyarakat sipil / komunitas dan berbicara tentang pengalaman mereka dalam pembangunan perkotaan dan kota mandiri. Pembicara adalah Bapak Ahmad Rifai, Pendiri Bersama, dan Direktur Yayasan Kota Kita, dan Bapak Zakki Amali, Editor Tirto.co.id

 

 

Bapak Ahmad Rifai dalam presentasinya tentang “memajukan Civic Engagement” mengatakan: “Di Kota Kita, kami memiliki visi tentang kota model yang dibentuk dan dibagikan oleh warga yang terinformasi dan diberdayakan dalam platform“ kota untuk semua. Menurut Rifai, Dalam civic engagement, partisipasi menjadi penting dalam konteks pembangunan perkotaan, khususnya di Indonesia. “Kami yakin partisipasi bisa lebih baik apalagi jika kita mempertimbangkan suara lingkungan karena masyarakat yang terpinggirkan biasanya tidak memiliki“ suara ”di pembangunan kotanya. Ketika warga tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan dan perencanaan, mereka dapat lebih jauh dikucilkan dari kota yang mereka tempati. Untuk itu, Kota Kita memfasilitasi perencanaan dan keterlibatan multipihak untuk memastikan masyarakat juga berkontribusi dalam pembangunan kota di Indonesia. Di sisi lain, pembicara Mr. Zakki dari Editor.co.id mengatakan bahwa pembangunan perkotaan harus memperhatikan gap dalam perkembangannya dan memastikan fasilitas untuk semua dijamin dengan harga yang rendah. Terutama kebutuhan air dan sanitasi. Ia juga menyoroti masalah privatisasi air yang menjadi masalah besar di kawasan perumahan tapak di Indonesia dengan membawa kasus di Sentul City.

Permasalahan dalam FGD tersebut kemudian dibagi menjadi 3 topik yang dibahas dalam 3 virtual room. Topik 1 adalah tentang fenomena kota mandiri/swasta. Beberapa isu yang dibahas antara lain pembangunan di pinggiran dan kebutuhan akan rumah tapak, akses transportasi umum, isu kota swasta yang meningkatkan pendapatan PAD, termasuk model yang dibutuhkan dari pemerintah pusat berdasarkan karakter masing-masing daerah dan rencana pembangunan pemerintah ke depan. Selain itu, beberapa program nasional juga dibahas, seperti pemerintah memberikan bantuan fasilitas umum untuk mendorong pengembang membangun, alternatif solusi terkait ketersediaan air, dan koordinasi dengan pemerintah pusat terkait pembangunan jalan nasional, provinsi, dan kota. Isu yang terkait dengan masyarakat juga dibahas seperti IPL (Iuran Pengelolaan Lingkungan) termasuk air, kebersihan taman, PDAM, dan keamanan. Dalam kondisi saat ini, layanan IPL dilakukan oleh pengembang sebelum dapat diserahterimakan kepada warga. solusinya adalah dikelola secara mandiri dari komunitas kota mandiri. Pada kelompok 2 dibahas dampak yang dirasakan (baik positif maupun negatif) oleh warga dan masyarakat sekitar dari munculnya kota swasta (skala besar) dan / atau klaster / komunitas berpagar (skala kecil). Review dilakukan oleh peserta diskusi mulai dari sosial ekonomi (tanah, konflik, perubahan pola kerja, dll) maupun sosial ekologi (sumberdaya, sampah, banjir, dll). Dapat disimpulkan dalam diskusi kelompok 2 bahwa pengembang harus memperhitungkan semua biaya pembangunan dan fasilitas dengan harga jual rumah dan tidak lagi ditanggung oleh penghuni. Disini peran pengembang terhadap masyarakat asli (pemukiman terjepit) sangat dibutuhkan karena akan memutus akses dan menjadi desa yang tercekik (strangulate). Pemerintah kota setempat juga harus dapat menjamin aksesibilitas permukiman asli hingga perkembangan kota mandiri. Selain itu, permasalahan komunitas yang terjaga keamanannya, seperti penutupan aksesibilitas, dibahas secara ketat, menurut peserta diskusi, Penduduk kota pribadi / masyarakat yang terjaga keamanannya juga perlu berinteraksi dengan kawasan pemukiman lainnya. Tapi ada masalah dengan security dan lain-lain, masih ada pro dan kontra. Beberapa dampak pembangunan kota mandiri/swasta diusulkan terbuka agar ada simbiosis, saling membutuhkan.

 

 

Pandangan beberapa komunitas dalam diskusi ini adalah tentang kebutuhan ruang publik di kota mandiri/swasta (misalnya Bintaro), ada hal positif yang tinggal di kota mandiri, fasilitas tersedia, hanya saja konsistensi kebijakan pengembang masih kurang. Kesimpulannya, terkadang kita melihat lebih banyak hal negatif akibat ketimpangan ekonomi yang terjadi, namun ada aspek positifnya, tersedianya fasilitas publik (open space) / komersial yang juga dapat dimanfaatkan oleh warga secara lebih luas, tidak terbatas pada warga kota mandiri/swasta sehingga hal tersebut akan meningkatkan perekonomian di daerah tersebut selain dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat di luar kota mandiri/swasta. Terakhir, Topik 3 telah membahas seperti apa kota mandiri itu. Menurut peserta diskusi, kota mandiri dianggap sebagai satu pembangunan, dan inklusifitas di kota mandiri merupakan hal yang esensial sehingga perlu adanya kesinambungan antara penataan ruang dan perencanaan sosial. Di sisi lain, infrastruktur yang memaksa kota menjadi inklusif sehingga kota yang tidak inklusif tidak akan berkelanjutan. Selain itu, beberapa orang berpendapat bahwa gimik awal adalah tipu muslihat pemasaran - menggunakan penataan untuk menciptakan sesuatu yang eksklusif (aman, nyaman, dll.). Nyatanya, mereka tidak "independen" seperti itu. Fakta ini seharusnya membuat developer dan publik sadar bahwa yang dibutuhkan bukanlah eksklusivitas. Inklusivitas yang diharapkan adalah (1) aspirasi, (2) negosiasi, (3) berbagi sumber. Nampaknya di masa depan apa yang "dijual" harus inklusif. Selain itu juga dibahas bagaimana sebuah kota mandiri/swasta dapat bersinergi secara inklusif dengan lingkungannya. Beberapa saran seperti aktif berjejaring dengan lingkungan sekitar khususnya untuk konteks kehidupan sehari-hari (aktif berjejaring setiap hari dengan lingkungan sekitar) dapat menjadi solusi, tentunya dapat ditempuh dengan berbagai kegiatan.